• (0553)2022395
  • (0553)2022395
  • Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
  • Senin - Jumat 08.00 - 16.30 WITA

Artikel (Opini)

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.

Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung

Pengantar

Setiap manusia ditanamkan rasa takut akan sesuatu hal sehingga menyebabkan pola perilaku berubah menyesuaikan dengan penyebab rasa takut itu sendiri. Takut menurut bahasa memiliki beberapa arti yakni : 1). merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, 2). Takwa, segan dan hormat, 3).tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), 4). Gelisah, khawatir. 

Dalam perspektif psikologis, rasa takut merupakan bagian dari kecemasan. Atkinson memberikan pengertian kecemasan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Berdasarkan pengertian tersebut, karakteristik rasa takut memiliki tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada peristiwa yang dihadapi dan potensi resiko yang dapat dialami oleh seseorang.

Dalam kaitannya dengan profesi hakim maka terdapat titik singgung antara rasa takut dengan kemandirian hakim (independence of the judiciary) pada saat memeriksa dan memutus perkara dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara umum rasa takut tidak dapat dideteksi secara langsung dari diri hakim karena terletak pada alam pikir, namun melalui observasi dan pengalaman dalam praktik peradilan, beberapa hal berikut ini dapat dikualifisir sebagai bentuk rasa takut yang berpotensi menggerus kemandirian hakim.

Rasa Takut dan Kemandirian Hakim

Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diatur bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas (independent) dan tidak memihak (imparsial). Pada hakikatnya, peradilan yang bebas berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh dan campur tangan pihak lain. Kewenangan hakim tidak memihak lebih ditujukan kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan imparsial berkaitan dengan nilai-nilai prosedur.[1]  

 

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan kemandirian hakim di dalam ketentuan Pasal 3 (1) yakni “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.[2]

 

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan wujud sila pertama pada Pancasila yang diakomodir di dalam ketentuan Pasal 2 (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni Peradilan dilakukan "DEMI KEADI

 


[1]   M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung : Alumni, 2012), hal.139.

[2] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim, Pembukaan, hal.3.

 

 

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Melalui amanat tersebut maka pertanggungjawaban tugas hakim pada saat memeriksa dan memutus perkara dilakukan berlandaskan prinsip umum keyakinan beragama yang mestinya dapat menguatkan konsistensi, integritas dan keberanian hakim mewujudkan keadilan.

                                        

Jaminan keamanan merupakan salah satu penyebab munculnya rasa takut hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam sejumlah peristiwa, hakim menerima perlakuan yang mengancam keselamatan sehingga menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan lain sebagainya padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) mengatur bahwa “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”. 

 

Ada dua frasa yang perlu dikritisi di dalam rumusan pasal tersebut yakni kewajiban negara memberikan jaminan keamanan dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.  Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat[1] sedangkan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara adalah pemerintah. 

 

Jaminan keamanan hakim oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum yang berwenang dilakukan melalui koordinasi antara pengadilan dengan pihak kepolisian merujuk pada mekanisme umum yang berlaku pada instansi lain sedangkan dalam penanganan perkara terorisme, jaminan keamanan diatur tersendiri dalam Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor 

 


[1]  Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 120.

2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Pelindungan Bagi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan Beserta Keluarganya Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. 

 

Jaminan keamanan hakim juga memiliki hubungan dengan kewajiban menjaga wibawa peradilan sebagaimana maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985  tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan  keadilan berdasarkan Pancasila,  maka perlu pula dibuat suatu  undang-undang yang mengatur  penindakan terhadap  perbuatan,  tingkah laku, sikap dan/atau  ucapan yang dapat merendahkan  dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan  peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court ".

 

Untuk saat ini, hendaknya pengadilan memastikan koordinasi dengan pihak keamanan terkait dilakukan dengan optimal dan menjalankan protokol keamanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan untuk menghindari berbagai kemungkinan munculnya ancaman keamanan dan keselamatan sehingga para hakim yang bersidang terhindar dari rasa takut terhadap jaminan keamanan pada saat memeriksa dan memutus perkara. Namun dimasa depan, perlu ditelaah lebih lanjut dukungan pemerintah terhadap lahirnya Undang-Undang Contempt of Court maupun bentuk jaminan pengamanan melekat lainnya dari pihak yang berwenang termasuk penguatan pengamanan internal dari organ khusus yang ada disetiap pengadilan.

 

Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah opini publik. Secara etimologi opini publik adalah terjemahan dari bahasa Inggris yaitu public opinion. Sementara public opinion berasal dari bahasa latin yaitu opinari dan publicusOpinari mempunyai arti fikir atau menduga sedangkan publicus artinya adalah milik masyarakat luas. Berdasarkan makna secara etimologi tersebut maka opini publik adalah pendapat mayoritas masyarakat mengenai suatu informasi tertentu yang diperbincangkan.

 

Pembentukan opini publik terhadap perkara yang sedang ditangani menuntut hakim yang memeriksa perkara mempertahankan kemandirianya dengan mengesampingkan rasa takut terhadap perbedaan penilaian hakim dengan opini publik. Misalnya opini publik menganggap seorang terdakwa di persidangan sebagai pelaku kejahatan sedangkan hakim memiliki keyakinan terdakwa tidak bersalah berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dipersidangan maka hakim dituntut menghilangkan rasa takut terhadap komentar negatif masyarakat terhadap putusan bebas yang akan dijatuhkan. 

 

Sudah menjadi resiko profesi hakim untuk dikomentari, dibully, dan bahkan dilaporkan kepada Badan Pengawasan, Komisi Yudisial, Ombudsman maupun kepada pihak-pihak lainnya. Lantas menjadi ragukah hakim atas putusan yang telah dijatuhkan ? Bila keragu-raguan itu ada maka sesungguhnya kemandirian hakim telah terbelenggu oleh opini publik. Konsep pandangan di atas menunjukkan rasa takut dapat mempengaruhi kemandirian hakim dalam proses pemeriksaan persidangan dan pasca persidangan. Dalam menghadapi keadaan semacam ini, hakim hendaknya berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim butir 6 yakni bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

 

Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah pengawasan. Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial namun pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.[1]

 

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya, diatur pengertian Pengawasan dan Pembinaan atasan langsung adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap pejabat pemangku jabatan struktural untuk membina dan mengendalikan secara terus menerus bawahan yang berada langsung di bawahnya untuk dapat melaksanakan tugas secara efektif dan efisien serta berperilaku sesuai dengan kode etik aparat peradilan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]

 

Pejabat struktural dalam rangka mengawasi penanganan perkara oleh hakim dilarang mengancam pemberian sanksi, apabila hakim tidak menggunakan sumber hukum tertentu di dalam pertimbangan putusannya atau apabila hakim tidak menuruti kehendaknya terhadap suatu perkara yang sedang ditangani dengan alasan menjalin hubungan baik pengadilan dengan pihak tertentu. Hal ini menyebabkan konsep relasi kuasa dalam perkara pidana maupun perdata dapat ditarik muatannya ke ranah administratif peradilan yang mengekang kemandirian hakim, padahal jelas dalam undang-undang kekuasaan kehakiman diatur bahwa alasan dan dasar putusan merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara.

 

Ketakutan terhadap pengawasan dapat juga menjadi bumerang bagi rasa keadilan. Misalnya ketika Hakim akan memutus perkara pidana, penasihat hukum terdakwa membuat berbagai macam pengaduan yang sebenarnya ditujukan untuk memberi tekanan agar Hakim memutuskan pidana dengan 

 


[1]  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 dan Pasal 40.

[2]  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.

hukuman rendah maka ketika alur pikir tersebut menjadi alasan seorang terdakwa dihukum, pada saat itu ketakutan telah mengintervensi kemandirian. Hendaknya para hakim menganggap semua laporan/pengaduan sebagai suatu

hal yang biasa dalam menjalankan tugas-tugas yudisial sepanjang proses persidangan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undang dan menerapkan prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim dengan sebaik-baiknya namun Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial juga mesti memperlakukan para hakim yang dilaporkan/diadukan dengan hormat serta menjunjung tinggi Kemandirian Hakim. 

 

Pengertian takut yang kedua sebagaimana termuat pada pengantar di atas adalah takwa. Pada hakikatnya setiap orang yang beriman, dituntut takut melanggar perintah dalam agama yang menghendaki kehidupan dijalankan dengan ideal dengan tujuan menciptakan keharmonisan. Konsep pengawasan oleh Tuhan adalah pengawasan tanpa batas mengingat kebesaranNya, sebagaimana disebutkan dalam Alquran At-Taghabun ayat (4) “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati”.

 

Arti kata takut berikutnya adalah hormat. Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan akses terhadap keadilan (access to justice) diantaranya melalui keterbukaan informasi, digitalisasi sistem peradilan, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan banyak program lainnya yang kesemuanya dimaksudkan agar peradilan bermanfaat dan kepercayaan publik (public trust) meningkat. 

 

Menghormati segala upaya yang telah dilakukan Mahkamah Agung dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan juga mestinya terpatri pada setiap hakim agar Visi Mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung dapat terwujud, khususnya melalui pelayanan berkeadilan dan putusan yang  memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian ketakutan terhadap pengawasan Tuhan dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan akan mengokohkan kemandirian.

  

Penutup

Rasa takut mengintervensi kemandirian hakim apabila hakim membiarkan rasa takut mempengaruhi hilangnya keadilan dalam proses persidangan maupun pada saat menjatuhkan putusan. Rasa takut mengokohkan kemandirian hakim apabila hakim melekatkan ketakutannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kekuasaannya dan menghindari sikap dan perbuatan yang dapat mencoreng nama baik peradilan. Seperti halnya prajurit yang bertempur dengan rasa takut kepada Tuhan dengan tujuan membela negaranya maka sekalipun gugur di medan pertempuran, sesungguhnya ia telah menang.

 

Referensi 

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, Bandung, Alumni, 2012.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.

Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Kencana, 2012.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

 

 



 Dokumen


Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang

Dr. Ridwan Mansyur, S.H., M.H.
 

Nothing endures but change, begitulah statemen Heraclictus, seorang filsuf kenamaan Yunani. Di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Demikian halnya kebutuhan atas layanan pengadilan, seiring perkembangan zaman, ia terus berkembang dan berubah. Publik menghendaki agar pengadilan mampu dan senantiasa beradaptasi dengan laju perkembangan peradaban. Tidak ada jalan lain untuk dapat memenuhi ekspektasi publik tersebut kecuali dengan satu cara: pembaruan.

Mahkamah Agung memiliki komitmen serius dalam hal pembaruan peradilan. Untuk mempertegas komitmentersebut, disusunlah Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035.. Cetak biru ini merupakan peta jalan sekaligus mercusuar yang akan memandu dan memberi petunjuk arah pembaruan peradilan agar dapat berjalan lebih terstruktur, terukur, serta tepat sasaran.

Pembaruan peradilan mutlak diperlukan untuk memenuhi nilai-nilai inti Court ExcellenceBertolak dari sini, kemudian muncullah pertanyaan: 1) nilai-nilai apa saja yang mutlak harus dipenuhi untuk mewujudkan Court Excellence? 2) apa saja pembaruan-pembaruan yang telah diikhtiarkan oleh Mahkamah Agung? 3) apakah pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut telah selaras dengan nilai-nilai Court Excellence? Artikel ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

 

Nilai-Nilai Inti Court Excellence 

Dalam mengagendakan pembaruan, Mahkamah Agung mengacu pada Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, sedangkan Cetak Biru tersebut disusun dengan menggunakan pendekatan Kerangka Pengadilan yang Unggul (The Framework of Court Excellence). Kehendak terwujudnya peradilan yang unggul bukan saja terjadi di Indonesia. Dunia internasional juga menghendaki hal itu. Oleh karenanya, peradilan-peradilan di belahan dunia kemudian bertemu, menyepakati, dan menerapkan sebuah standar internasional untuk menyelenggarakan sistem peradilan. Standar tersebut dinamakan dengan International Framework for Court Excellence

International Framework for Court Excellence adalah sistem manajemen mutu yang dirancang untuk membantu pengadilan meningkatkan kinerjanya. Sistem ini merupakan pendekatan yang komprehensif untuk mencapai pengadilan yang unggul. Kerangka ini merupakan metodologi peningkatan berkelanjutan yang memandu perjalanan pengadilan untuk menuju pengadilan yang unggul dengan memastikan pengadilan secara aktif dan terus-menerus meninjau kinerjanya sekaligus mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya. Ada empat kegiatan primer dalam siklus kerangka ini:

1. Penilaian mandiri. Siklus ini adalah pemeriksaan kondisi pengadilan dan melibatkan analisis kinerja di tujuh area;

2. Analisis mendalam atas penilaian mandiri untuk menentukan bidang-bidang kerja pengadilan apa saja yang mampu ditingkatkan;

3. Rencana perbaikan dikembangkan dengan merinci area yang diidentifikasi untuk perbaikan, tindakan yang diusulkan untuk perbaikan, dan hasil yang ingin dicapai;

4. Pemantauan rencana peningkatan berdasarkan tinjauan dan perbaikan.

 

Metodologi Penilaian Berkelanjutan

 

(Sumber: https://www.courtexcellence.com/__data/assets/pdf_file/0027/61479/The-International-Framework-3E-Indonesian.pdf)

?International Framework for Court Excellencemengakui ada kesepakatan internasional mengenai nilai-nilai inti yang diterapkan oleh pengadilan dalam menjalankan peran mereka. Nilai-nilai inti ini membantu pengadilan untuk mewujudkan proses hukum yang adil dan tersedianya perlindungan hukum yang sama di hadapan hukum untuk semua orang yang memiliki kepentingan di pengadilan. Nilai-nilai inti tersebut adalah:

Pertama, fairness. Fairness identik dengan keadilan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan keadilan sebagai:  1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak, 2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang. Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, setiap orang tidak sama. Adil menurut seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Oleh sebab itu, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum dimana suatu skala keadilan diakui.

Kedua, impartiality. Ketidakberpihakan merupakan syarat utama terselenggaranya proses peradilan yang jujur dan adil, serta dihasilkannya suatu putusan yang berkeadilan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, aparatur peradilan harus tidak berpihak dalam memperlakukan pihak-pihak yang berperkara.

Ketiga, independence. Kemandirian dapat dipilah menjadi dua jenis: kemandirian institusional dan kemandirian fungsional. Kemandirian institusional berarti bahwa badan peradilan harus bebas dari intervensi pihak lain di luar kekuasaan kehakiman (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Sedangkan kemandirian fungsional artinya setiap aparatur peradilan wajib menjaga kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Keempat, competence. Kompeten artinya cakap; mengetahui. Salah satu kriteria badan peradilan unggul adalah apabila ia mampu mengelola dan membina sumber daya manusia yang kompeten dengan kriteria obyektif, sehingga tercipta aparatur peradilan yang berintegritasdan profesional. 

Kelima, transparency. Salah satu upaya badan peradilan untuk menjamin adanya perlakuan sama di hadapan hukum, perlindungan hukum, serta kepastian hukum yang adil, adalah dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk memperoleh informasi. Keterbukaan informasi ini adalah unsur terpenting dalam terminologi transparansi badan peradilan.

Keenam, accessibility. Akses untuk memperoleh keadilan merupakan hak setiap warga negara tanpa membedakan strata sosialnya. Akses terhadap keadilan (access to justice) dapat diartikan sebagai kesempatan untuk mendapatkan keadilan yang berlaku bagi semua kalangan atau sering disebut dengan istilah justice for all. Dalam kerangka normatif, negara telah memberikan jaminan dan kesempatan yang sama bagi seluruh lapisan masyarakat untuk memperoleh keadilan, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 28D UUD 1945.

Ketujuh, timeliness. Ketepatan waktu mencerminkan keseimbangan antara waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan, menyajikan, serta menimbang bukti hukum, aturan hukum, argumen hukum, denganpenundaan yang tidak beralasan akibat proses yang tidak efisien atau sumber daya yang tidak mencukupi. Nilai dasar tersebut tidak kalah penting dari jaminan kepastian hukum.

Kedelapan, certainty. Maksud kepastian di sini adalah bahwa keputusan berasal dari aturan, prinsip, dan preseden yang telah ditetapkan, dan pada titik tertentu akan dianggap 'final' baik pada tingkat pertama atau melalui proses upaya hukum. Selain bermakna kesatuan hukum, kepastian juga dapat diartikan sebagai kepastian prosedur layanan.

Kesembilan, equalitySetiap warga negara, khususnya pencari keadilan, berhak mendapat perlakuan yang sama dari Badan Peradilan untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sertaPasal 4 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kesepuluh, integrity. Integritas ini meliputi transparansi dan kepatutan di antara proses, keputusan, dan pembuat keputusan. Keadilan tidak hanya harus diwujudkan, tetapi harus dilakukan secara transparan dan terlihat dengan jelas.

   

Nilai-Nilai Inti Court Excellence

 

Potret Pembaruan Mahkamah Agung

?Pembaruan-pembaruan di Mahkamah Agungdilakukan secara berkelanjutan dan berorientasi pada tujuan sebagai berikut: pertama, organisasi berbasis kinerja (performance based organization)kedua, organisasi berbasis pengetahuan (knowledge based organization)dan ketigasistem pengelolaan organisasi.?

Arah pembaruan Mahkamah Agung difokuskan pada bidang-bidang berikut: Pembaruan Manajemen Perkara, Pembaruan Fungsi Teknis, Pembaruan Fungsi Penelitian dan Pengembangan, Pembaruan Pengelolaan Sumber Daya Manusia, Pembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan, Pembaruan Pengelolaan Anggaran, Pembaruan Pengelolaan Aset, Pembaruan Teknologi Informasi, Pembaruan Sistem Pengawasan, dan Pembaruan Sistem Keterbukaan Informasi. Namun mengingat ruang dan waktu yang terbatas, dalam artikel ini fokus kajian yang dilakukan terbatas pada pembaruan pada bidang Manajemen Perkara dan pembaruan Fungsi Teknis.

a. Pembaruan Manajemen Perkara

Agenda pembaruan pada manajemen perkara dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu: pertama, modernisasi manajemen perkara, kedua, penataan ulang organisasi manajemen perkara, dan ketiga, penataan ulang proses manajemen perkara.

Pertama, modernisasi manajemen perkara. Mahkamah Agung membagi arah pengembangan dukungan manajemen perkara menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: 

1) keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan

2) modernisasi business process dan pelayanan publik, dan

3) pelayanan hukum terintegrasi. 

?Pada kelompok 1 (keterbukaan dan revitalisasi sistem pelaporan), Mahkamah Agung telah mengupayakan banyak pembaruan, antara lain:

1. Direktori Putusan

Direktori Putusan adalah sistem berbasis situs web yang dimiliki oleh Kepaniteraan Mahkamah Agung untuk mempublikasikan putusan Mahkamah Agung dan putusan pengadilan dari empat lingkungan peradilan,baik tingkat pertama maupun tingkat banding di seluruh Indonesia. Hingga artikel ini ditulis, putusan yang telah terpublikasikan di sistem tersebut berjumlah 6.559.634 putusan. Kepaniteraan Mahkamah Agung kemudian mengembangkan sistem ini sehingga konten yang termuat dalam sistem tersebut tidak hanya Putusan, tetapi juga mencakup Yurisprudensi, Rumusan Rakernas, Restatemen, Kompilasi Kaidah Hukum, dan Putusan Penting.

2. Info Perkara

Dalam skop yang lebih kecil, yakni khusus perkara pada lingkungan Mahkamah Agung, Kepaniteraan Mahkamah Agung juga memiliki sistem Info Perkara. Info Perkara ini merupakan aplikasi yang dapat memudahkan para pencari informasi untuk melihat informasi perkara yang ada di Mahkamah Agung.

3. Sistem Informasi dan Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh pengadilan di Indonesia

Salah satu lompatan besar Mahkamah Agung adalah pemberlakuan SIPP. Aplikasi ini merupakan sistem administrasi dan penyediaan informasi perkara baik untuk pihak internal pengadilan, maupun pihak eksternal pengadilan. Aplikasi SIPP ini membantu pengadilan untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi dalam menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara secara lebih efektif dan efisien. Dengan aplikasi ini pula sistem pelaporan menjadi sederhana dengan berbasis elektronik. Bagi pencari keadilan, aplikasi ini memudahkan mereka untuk mengakses informasi tentang proses atau perjalanan suatu perkara.

4. Virtual Account (VA) untuk pembayaran biaya perkara pada Mahkamah Agung

Sejak akhir tahun 2017 Kepaniteraan Mahkamah Agung telah melakukan modernisasi sistem pembayaran biaya perkara kasasi, peninjauan kembali, dan pengiriman biaya penyampaian dokumen ke luar negeri, yaitu dengan menggunakan virtual account. Sistem ini memudahkan pengelolaan keuangan perkara, karena setiap ada uang masuk ke rekening penampung, dapat diketahui sumber dananya.

5. Optimalisasi Website

Website adalah media yang efektif untuk mempublikasikan informasi pengadilan. Oleh sebab itu, fungsinya perlu dioptimalkan. Mahkamah Agung terus berusaha untuk mengoptimalkan fungsi website ini dengan melengkapi dan mengupdate konten. Selain Mahkamah Agung, untuk mendukung fungsi transparansi, Kepaniteraan Mahkamah Agung juga membangun dan mengelola website tersendiri. Website juga dimiliki oleh seluruh pengadilan pada empat lingkungan badan peradilan. Untuk mengoptimalkan website pada satker pengadilan, masing-masingDirektorat Jenderal Peradilan di bawah Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan mengenai standarisasi konten website pengadilan. Standarisasi ini dinilai sangat tepat agar informasi yang dapat terpublikasikan pengadilan lengkap dan utuh.

6. Publikasi Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar

Salah satu indikator peradilan yang unggul adalah adanya kepastian hukum. Kepastian hukum dapat tercermin dari adanya kesatuan hukum. Untuk mewujudkan kesatuan hukum tersebut Mahkamah Agung kemudian memproduksi kemudian mempublikasikan Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar secara berkala, baik melalui Laporan Tahunan, buku, website, atau media lain.

?Adapun terkait kelompok 2 (modernisasi business process dan pelayanan publik), pembaruan-pembaruan yang telah diupayakan antara lain:

1. E-Court

E-Court adalah layanan pendaftaran perkara secara online, mendapatkan taksiran panjar biaya perkara secara online, pembayaran biaya perkara secara online, pemanggilan yang dilakukan dengan saluran elektronik, dan persidangan yang dilakukan secara elektronik. E-Court mencakup:

1. e-Filing (pendaftaran perkara online)

2. e-Payment (pembayaran panjar biaya perkara online)

3. e-Summons (pemanggilan pihak secara online)

4. e-Litigation (persidangan secara online)

E-Court pada mulanya diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Peraturan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.

Pada tahun 2020 penggunaan e-court untuk pendaftaran perkara perdata, perdata agama, dan tata usaha negara melonjak dahsyat. Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2020, pada tahun tersebut perkara pada peradilan tingkat pertama yang didaftarkan melalui e-court jumlahnya meningkat hingga 295,79%.

Inovasi e-Court mendapat apresiasi yang luar biasa dari berbagai kalangan, termasuk dari Kepala Negara Republik Indonesia. Dalam acara Sidang Istimewa Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tahun 2020 yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 17 Februari 2021, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melontarkan pujian tingkat tinggi kepada Mahkamah Agung yang telah berhasil memanfaatkan teknologi untuk mewujudkan peradilan berbasis elektronik.

2. Percepatan Penyelesaian Perkara pada Mahkamah Agung

Salah satu jalan pintas untuk mewujudkan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan adalah dengan melakukan percepatan penyelesaian perkara. Percepatan ini tentu dengan tetap memperhatikan kualitas putusan. Dalam hal percepatan ini, Mahkamah Agung telah menampilkan capaian yang luar biasa. Beban perkara Mahkamah Agung pada tahun 2020 meningkat menjadi 20.761 perkara atau naik 6,07% jika dibandingkan dengan tahun 2019 yang berjumlah 20.275 perkara. Hebatnya, capaian memutus perkara Mahkamah Agung di tahun 2020 mencapai 20.562 perkara (99,04%). Artinya, sisa perkara hanyalah sebanyak 199 (0,96%). Dari data-data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada tahun 2020 Mahkamah Agung menerima perkara dengan jumlah terbanyak, menyisakan tunggakan perkara (case backlog) dengan jumlah terkecil, serta mencatatkan rasio produktivitas memutus tertinggi sepanjang sejarah Mahkamah Agung. Capaian membanggakan ini juga diikuti dengan peningkatan jumlah perkara yang pemeriksaannya kurang dari tiga bulan, yaitu sebesar 96,65% dari jumlah beban perkara. Angka ini juga merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Mahkamah Agung.

3. Prosedur Baru Rogatory

Prosedur penyampaian panggilan/pemberitahuan bagi pihak berperkara yang bertempat tinggi di luar negeri sebelumnya belum mendapat pengaturan yang jelas dalam hukum acara. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Mahkamah Agung dan Kementerian Luar Negeri menyusun nota kesepahaman. Pertama, nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2013 antara Panitera Mahkamah Agung dan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional. Kedua, nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 2018. Ketiga, nota kesepahaman yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 2019.Upaya ini merupakan bentuk modernisasi prosedur rogatory, agar lebih jelas, efektif dan efisien.

4. Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) seluruh Pengadilan di Indonesia

PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap awal sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan pengadilan melalui satu pintu. Kehadiran PTSP ini sangat efektif memangkas jalur pelayanan. Dengan adanya PTSP, para pencari keadilan tidak perlu lagi menempuh terlalu banyak jalur untuk mendapatkan layanan pengadilan. Standarisasi PTSP ini diatur oleh masing-masing Direktorat Jenderal Pengadilan.

5. Layanan Prodeo, Sidang di Luar Gedung, dan Posbakum

Justice for all bagi Mahkamah Agung bukan sekadar jargon semata. Untuk mewujudkan nilai itu, pada tahun 2014 ditetapkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Layanan Hukum bagi Masyarakat tidak Mampu di Pengadilan. Dalam Perma tersebut diatur ketentuan mengenai pedoman bantuan hukum meliputi layanan pembebasan biaya perkara, sidang di luar gedung pengadilan, dan pembentukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan.

6. Pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)

Pembangunan WBK dan WBBM merupakan usaha yang terukur, terstruktur, dan terstandarisasi dalam mewujudkan peradilan yang bersih dari korupsi sekaligus birokrasi yang bermental melayani. Pada tahun 2019, Satker yang meraih predikat WBK sejumlah 63 unit Satker. Selanjutnya, di masa pandemi, yakni di tahun 2020, justru meningkat. Sebanyak 85 Satker berhasil meraih predikat WBK, salah satu peraihnyaadalah Eselon I, yaitu Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. Pada tahun 2020 juga terdapat sembilan Satker yang menerima predikat WBBM.

7. Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Perempuan seringkali berada pada titik inferior saat berhadapan dengan hukum. Oleh sebab itu Mahkamah Agung terpanggil untuk mewujudkan perlindungan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum. Mahkamah Agung kemudian menetapkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Terkait kelompok 3 (pelayanan hukum terintegrasi), Mahkamah Agung juga telah mengupayakan beberapa langkah. Pelayanan hukum terintegrasi dalam hal ini mencakup: 1) integrasi dengan penegak hukum lain, 2) terintegrasi dalam pengadilan online, dan 3) terintegrasi dengan sistem login tunggal advokat. Upaya yang telah dilakukan oleh Mahkamah Agung terkait pembaruan kelompok 3 ini antara lain:

1. Sistem Penanganan Perkara Pidana Terpadu berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI)

SPPT-TI adalah sistem pertukaran data perkara pidana secara elektronik diantara 4 lembaga penegak hukum (Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung RI, Mahkamah Agung RI, Ditjen PAS Kemenkumham RI). Pengembangan SPPT-TI juga melibatkan Bappenas RI, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemkominfo RI) dan BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara).

SPPT-TI adalah satu kesatuan rangkaian dari sistem manajemen perkara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan putusan atau penetapan yang melibatkan komponen peradilan pidana yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lapas dengan memanfaatkan teknologi informasi yang menghasilkan informasi yang bermanfaat dalam penegakan hukum.Adapun dokumen yang dipertukarkan dan menjadi tanggung jawab Pengadilan Negeri adalah Penetapan Majelis Hakim, Penetapan Panitera Pengganti, Penetapan Hari Sidang Pertama, Amar Putusan dan Salinan Putusan. Implementasi SPPT-TI ini tidak menggantikan sistem yang saat ini sudah ada di Pengadilan Negeri, dan bahwa pertukaran data dilakukan pada tingkat pusat sehingga tugas Pengadilan Negeri adalah melakukan penginputan dengan lengkap seluruh dokumen proses persidangan pada Sistem Informasi dan Penelusuran Perkara (SIPP).

2. Pelayanan Terpadu Sidang Keliling

Pelayanan Terpadu Sidang Keliling adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan terkoordinasi dalam satu waktu dan tempat tertentu antara pengadilan negeri/pengadilan agama/mahkamah syari’ah dengan dinaskependudukan dan pencatatan sipil kabupaten/kota, dan kantor urusan agama kecamatan dalam layanan keliling untuk memberikan layanan pengesahan perkawinan dan perkara lainnya sesuai kewenangan pengadilan negeri dan itsbat nikah sesuai kewenangan pengadilan agama/mahkamah syari’ah untuk memenuhi pencatatan perkawinan dan pencatatan kelahiran.

3. Pengambilan Salinan Putusan via aplikasi e-Court

Integrasi data dengan sistem e-Court memiliki banyak keunggulan. Salah satu keunggulannya adalah para pihak tidak perlu datang ke pengadilan untuk mengambil salinan putusan. Salinan putusan yang telah ditandatangani secara elektronik oleh panitera pengadilan dapat diunduh oleh pihak berperkara, tentunya setelah ia membayar terlebih dahulu biaya PNBP dan Leges Panitera yang akan tersedia secara otomatis dengan virtual account di laman e-court tersebut.

Kedua, penataan ulang organisasi manajemen perkara. Pada tahun 2015, Mahkamah Agung melakukan langkah revolusioner, yakni penataan ulang organisasi kepaniteraan dan kesekretariatan untuk peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Penataan ulang tersebut dipayungi dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan. Sebelum ditata ulang, panitera dan sekretaris pengadilan dijabat oleh orang yang sama, pasca terbitnya Perma tersebut, panitera dan sekretaris pengadilan dijabat oleh dua orang berbeda. Dengan demikian panitera dapat fokus mengelola kepaniteraan dan sekretaris dapat fokus menjalankan tugas kesekretariatan. Langkah ini ditempuh agar penanganan manajemen perkara di bawah komando panitera berjalan lebih terfokus dan terarah.

Ketiga, penataan ulang proses manajemen perkara. Penataan ulang proses (business process reengineering) manajemen perkara di Mahkamah Agung merupakan bagian penting dalam pembaruan peradilan. Salah satu kebijakan yang lahir dari kerangka business process reengineering adalah penyederhanaan administrasi dan birokrasi penerimaan berkas perkara di Mahkamah Agung.  Penyederhanaan proses manajemen perkara bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan perkara di Mahkamah Agung dan memudahkan publik dalam pengurusan birokrasi pengadilan, khususnya terkait dengan pemenuhan hak dan kewajiban para pihak. Kedua hal ini akan berdampak positif terhadap peningkatan kinerja dan persepsi publik terhadap lembaga peradilan.

Pembaruan administrasi penerimaan berkas tersebut antara lain adalah terkait: 

1) Pelimpahan Wewenang Penerimaan dan Penelaahan Berkas

Mahkamah Agung pada akhir tahun 2019,  menerbitkan Surat Keputusan Ketua  Mahkamah Agung Nomor 243/KMA/SK/XI/2019 tanggal 27 November 2019 tentang  Pelimpahan Wewenang Penerimaan dan Penelaahan Berkas Perkara Kasasi, Peninjauan Kembali, Grasi, dan Hak Uji Materiil kepada Kepaniteraan Mahkamah Agung. Surat Keputusan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2020.  Materi muatan pokok dari Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung ini adalah penataan ulang proses birokrasi penerimaan dan penelaahan berkas dari yang semula ditangani oleh tiga unit eselon 1 Mahkamah Agung menjadi hanya ditangani oleh 1unit kerja Kepaniteraan Mahkamah Agung, yaitu sebagai berikut. Pertama, kewenangan penerimaan berkas perkara yang semula berada di Biro Umum Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung dilimpahkan kepada bagian tata usaha pada Sekretariat Kepaniteraan Mahkamah Agung. Kedua, kewenangan penelaahan kelengkapan berkas perkara yang semula berada di direktorat pranata dan tatalaksana perkara pada 3 (tiga) direktorat jenderal badan peradilan dialihkan kepada kepaniteraan muda perkara Mahkamah Agung.

2) Penggunaan Stiker Warna pada Amplop Berkas sebagai Pembeda Jenis Perkara

Proses distribusi berkas perkara dari unit penerima ke unit penelaah dapat terkendala ketika informasi jenis perkara tidak dicantumkan, khususnya untuk perkara pidana dan perdata yang berasal dari pengadilan negeri.  Untuk mengatasi hambatan ini, Kepaniteraan Mahkamah Agung menerbitkan kebijakan penggunaan stiker warna berdasarkan jenis perkara yang ditempelkan pada amplop berkas. Kebijakan ini dimuat dalam surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 352/PAN/OT.01.3/2/2020 tanggal 13 Februari 2020. Dengan adanya stiker warna yang menjadi penanda berkas, petugas penerima berkas secara visual dapat dengan mudah mengelompokkan berkas perkara berdasarkan asal pengadilan dan jenis perkara.  Surat Panitera tersebut dilampirkan pula model amplop berkas dengan pembeda warna berdasarkan jenis perkara.

3) Pengaturan Prosedur Pengiriman Berkas ke Mahkamah Agung dalam Keadaan Khusus

Moda transportasi antar wilayah sempat berhenti beroperasi pada awal mewabahnya Covid-19. Kondisi ini mengakibatkan penyedia jasa pengiriman dokumen di sejumlah daerah menghentikan sementara layanannya.  Beberapa pengadilan tingkat pertama melaporkan kesulitan mengirimkan berkas perkara kasasi/peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.  Merespons kondisi ini, Kepaniteraan Mahkamah Agung menerbitkan surat Panitera Mahkamah Agung Nomor 1017 /PAN/OT.01.3/6/2020 tanggal 25 Juni 2020 perihal petunjuk pengiriman berkas pada kondisi darurat.

4) Prosedur Penyampaian Laporan Kasasi Perkara Pidana yang Terdakwanya dalam Status Tahanan

 Pada penghujung tahun 2020, Panitera Mahkamah Agung mengatur ulang prosedur penyampaian laporan kasasi perkara pidana yang terdakwanya dalam status tahanan melalui surat nomor 2304/PAN/HK.01/12/2020, tanggal 16 Desember 2020. Surat tersebut ditujukan kepada para Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.  Terhitung mulai 1 November 2021, prosedur baru penyampaian laporan kasasi tersebut diberlakukan juga untuk Mahkamah Syar’iyah di Aceh dalam penanganan perkara jinayat.  Hal ini tertuang dalam Surat Panitera MA Nomor 2193/PAN/HK.05/10/2021 tanggal 11 Oktober 2021.

b. Pembaruan Fungsi Teknis

Upaya pembaruan fungsi teknis badan peradilan harus menjamin terwujudnya pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman secara independen, efektif, dan berkeadilan. Upaya pembaruan dapat diartikan sebagai upaya untuk merevitalisasi fungsi Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam rangka menjaga kesatuan hukum dan revitalisasi fungsi pengadilan dalam rangka meningkatkan akses masyarakat pada keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, program utama yang perlu dilakukan antara lain adalah penyederhanaan proses berperkara, penyelesaian perkara dengan acara cepat dan berorientasi perdamaian (mediasi), dan penguatan akses pada pengadilan.

?Dalam konteks pembaruan fungsi teknis, pembaruan yang telah diupayakan Mahkamah Agung antara lain:

1. Gugatan Sederhana (GS)

Untuk membumikan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, disusunlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Gugatan Sederhana atau Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil tertentu diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. Pada mulanya, berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2015, nilai gugatan maksimal yang dapat diselesaikan melalui Gugatan Sederhana adalah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Selanjutnya melalui Perma Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, nilai maksimal gugatan materiil yang dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana ditingkatkan menjadi Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

2. Implementasi Restorative Justice

Pada tahun 2014 Ketua Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversidalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Ini adalah terobosan agar proses pemeriksaan pidana anak lebih berorientasi pada perdamaian dan restorative justice. Jika proses diversi berhasil, maka pemeriksaan pidana dihentikan, kemudian Ketua Pengadilan menerbitkanPenetapan Kesepakatan Diversi. Hal itu tentu memangkas proses penyelesaian perkara yang seharusnya berkepanjangan, menjadi sederhana dan cepat.

3. Penguatan Akses ke Pengadilan

Ada banyak sekali upaya yang dilakukan Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawahnya untuk penguatan akses ke pengadilan. Upaya-upaya tersebut antara lain: pembebasan biaya perkara, layanan sidang di luar gedung, layanan sidang terpadu, inovasi pembuatan gugatan mandiri, sidang di luar negeri (SK KMA Nomor 084/KMA/SK/V/2011), penyediaan Pos Bantuan Hukum (Posbakum), dan lain-lain. Upaya-upaya penguatan akses ini terus dimonitoring dan ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya.

4. Pembacaan Berkas secara Elektronik

Ketua Mahkamah Agung menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang pedoman penerapan sistem kamar pada Mahkamah Agung RI. Penyempurnaan manajemen perkara pada dasarnya memerlukan prasyarat sebagai pendukung keberhasilan yaitu keberadaan dukungan sistem dan teknologi informasi. Pemanfaatan dokumen elektronik dapat membantu efisiensi dan efektivitas pemeriksaan/pembacaan. Pemanfaatan sistem informasi juga dapat membantu efisiensi dan efektivitas manajemen kalender sidang yang terjadwal dan tercatat. Saat ini pembacaan berkas sudah dapat dilakukan secara elektronik, sehingga dapat memangkas waktu dan dapat mengurangi penggunaan kertas dalam pembacaan berkas perkara.

5. Penguatan Sistem Kamar

Sistem Kamar pada Mahkamah Agung telah dikenalkan sejak tahun 2011, yakni dengan diberlakukannya Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar di Mahkamah Agung.  Surat Keputusan tersebut kemudian disempurnakan beberapa kali.

Tujuan dari penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung adalah: 1) hakim dapat mengembangkan kepakaran dan keahlian dalam mengadili perkara, 2) meningkatkan produktivitas dalam pemeriksaan perkara, 3) mengurangi disparitasputusan, 4) memudahkan pengawasan putusan.

Mahkamah Agung telah berusaha melakukan penguatan sistem kamar tersebut melalui upaya: penyelenggaraan perdana rapat pleno kamar, pembentukan kelompok kerja penyusunan rencana aksi implementasi sistem kamar pada mahkamah agung, penataan ulang organisasi sistem kamar, dan penyempurnaan kembali pedoman sistem kamar.

 

Keselarasan Pembaruan dengan Nilai-Nilai Court Excellence

Apakah pembaruan-pembaruan yang diikhtiarkanMahkamah Agung tersebut telah linear dengan nilai-nilai Court Excellence? Secara tegas dapat dijawab: ya, sesuai. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel berikut:

 

No

Pembaruan

Nilai Court Excellence yang Selaras

1

Direktori Putusan

 

Transparency, accessibility

2

Info Perkara

 

Transparency, accessibility

3

SIPP

 

Transparency, accessibility, certainty, timelines

4

Optimalisasi Website

 

Transparency, accessibility

5

Publikasi Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar

 

Transparency, accessibility, certainty

6

Virtual Account 

 

Transparency, accessibility, certainty, timelines

7

E-Court 

Transparency, accessibility, certainty, timelines

8

Percepatan Penyelesaian Perkara pada Mahkamah Agung

Timelines, competence, integrity, independence, fairness

9

Prosedur Baru Rogatory

Transparency, accessibility, certainty, timelines

10

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) 

Transparency, accessibility, timelinescertainty

11

Layanan Prodeo, Sidang di Luar Gedung, dan Posbakum

Accessibilitycertainty

12

Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)

Transparency, accessibility, timelines, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, integrity

13

Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Accessibility, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, integrity

14

SPPT-TI

Transparency, accessibility, timelines, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, integrity

15

Pelayanan Terpadu Sidang Keliling

Accessibility, timelines

16

Pengambilan Salinan Putusan via aplikasi e-Court

Transparency, accessibility, timelines, certainty

17

Penataan Ulang Organisasi Kepaniteraan Dan Kesekretariatan

Competence

18

Penataan Ulang Proses (Business Process Reengineering) Manajemen Perkara di Mahkamah Agung 

Timelines, certainty

19

Gugatan Sederhana (GS)

Timelines, certainty

 

Implementasi Restorative Justice

Fairness, impartiality, independence, equality

20

Penguatan Akses ke Pengadilan

Accessibility, certainty

21

Pembacaan Berkas secara Elektronik

Timelines

22

Penguatan Sistem Kamar

Competence

 

Kesimpulan

The Framework of Courts Excellence mengakui ada kesepakatan internasional mengenai nilai-nilai inti yang harus diterapkan oleh pengadilan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Nilai-nilai tersebut adalah transparency, accessibility, timelines, certainty, fairness, impartiality, independence, competence, equality, dan integrity. 

Dalam bidang manajemen perkara dan pembaruan fungsi teknis, pembaruan yang telah dilaksanakan Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawahnya antara lain adalah: Direktori Putusan, Info Perkara, SIPP, Website, Publikasi Landmark Decision, Yurisprudensi, dan Surat Edaran Pemberlakuan Hasil Pleno Kamar, Virtual Accounte-Court, Percepatan Penyelesaian Perkara pada Mahkamah Agung, Prosedur Baru Rogatory, PTSP, Layanan Prodeo, Sidang di Luar Gedung, Posbakum, Pembangunan Zona Integritas menuju WBK dan WBBM, Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum, SPPT-TI, Pelayanan Terpadu Sidang Keliling, Pengambilan Salinan Putusan via Aplikasi e-Court, Penataan Ulang Organisasi Kepaniteraan dan Kesekretariatan, Penataan Ulang Proses (Business Process Reengineering) Manajemen Perkara di Mahkamah Agung,Gugatan Sederhana, Implementasi Restorative Justice, Penguatan Akses ke Pengadilan, Pembacaan Berkas secara Elektronik, dan Penguatan Sistem Kamar.

Pembaruan-pembaruan yang diikhtiarkan Mahkamah Agung tersebut linear dengan nilai-nilai inti yang Court of Excellence. Mahkamah Agung telah berada pada garis edaryang benar untuk segera mewujudkan visi mulianya: Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.Amin.

  

DAFTAR PUSTAKA

 

A. Aturan Perundang-Undangan dan Dokumen Resmi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan secara Elektronik

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelayanan Terpadu Sidang Keliling Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dalam Rangka Penerbitan Akta Perkawinan, Buku Nikah dan Akta Kelahiran.

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung RI

Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 77/Dju/Sk/Hm02.3/2/2018 1530 tentang Pedoman Standar Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri 

Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2010

International Framework for Court Excellence, 3rd Edition, May 2020, The-International-Framework-3rd-Edition-Amended.pdf (courtexcellence.com), akses tanggal 08 Desember 2021

  

B. Buku, Artikel, Berita, Dll.

Asep Nursobah, Implementasi sistem Kamar pada Mahkamah Agung,https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/sistem-kamar/sejarah-sistem-kamar,  akses tanggal 9 Desember 2021.

Asep Nursobah, Prosedur Penyampaian Surat Rogatoridan Surat Bantuan Penyampaian Dokumen Pengadilan dalam Masalah Perdata bagi Pihak yang Berada di Luar Negerihttps://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/Materi_penyampaian-panggilan-ke-luar-negeri_asep-nursobah.pdf, akses tanggal 08 Desember 2021.

M. Agus Santoso, Hukum, Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Kencana, Jakarta: 2014.

Pan Mohamad Faiz dan Oly Viana Agustine, Akses terhadap Keadilan bagi Masyarakat Rentan di Mahkamah Konstitusi, Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara Mahkamah Konstitusi Jalan Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta 10110.

 



 Dokumen


Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang

MENJAGA WIBAWA DAN MARTABAT PERADILAN MELALUI PROTOKOL PERSIDANGAN DAN KEAMANAN

- Dr. Sofyan Sitompul, S.H., M.H.-

Hakim Agung Kamar Pidana

Pengantar

Peradilan sering disebut benteng terakhir penegakan hukum namun benteng tersebut seringkali diterobos oleh kepentingan pribadi oknum penegak hukum, pihak berperkara, dan masyarakat umum. Upaya menerobos benteng keadilan dapat dibagi menjadi dua kriteria yakni pertama, Kehilangan Integritas Hakim karena faktor materi maupun alasan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Independence Of The Judiciary sehingga mengorbankan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kedua, Kehilangan Rasa Hormat terhadap lembaga peradilan, karena kurangnya kesadaran hukum, pola budaya hukum dan lemahnya sistem protokol persidangan dan keamanan.

Protokol persidangan dan keamanan merupakan sub bagian dari sistem peradilan yang mempengaruhi meningkatnya kepercayaan publik (Public Trust), wibawa dan martabat peradilan. Public Trust dapat diukur melalui statistik jumlah perkara tertentu yang diajukan ke pengadilan dan berdasarkan persepsi masyarakat mengenai peradilan sedangkan wibawa dan martabat peradilan merupakan wujud nyata keadaan dan pelayanan peradilan kepada masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[1], wibawa memiliki arti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi serta dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik.

Wibawa peradilan dimulai pada saat seseorang akan memasuki wilayah pengadilan, jadi ketika gedung pengadilan terlihat seperti bangunan tua tidak terurus maka dapat muncul persepsi negatif soal peran pengadilan mewujudkan keadilan. Setelah masuk wilayah pengadilan dan masuk ruang sidang maka perlu adanya protokol persidangan dan keamanan yang baik sebagaimana termuat lengkap dalam Perma 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan Dalam Lingkungan Pengadilan.

Keberadaan Perma ini, sejalan dengan maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985  tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan  keadilan berdasarkan Pancasila,  maka perlu pula dibuat suatu  undang-undang yang mengatur  penindakan terhadap  perbuatan,  tingkah laku, sikap dan/atau  ucapan yang dapat merendahkan  dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan  peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court ".


Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

PEMBANGUNAN HUKUM PERDATA MELALUI YURISPRUDENSI

Oleh: Wigati Pujiningrum, S.H., M.H. (Hakim Yustisial/Asisten Hakim Agung pada Kamar Perdata)

Hukum dalam pembangunan mempunyai 4 fungsi yaitu hukum sebagai pemeliharaan ketertiban dan keamanan, sebagaimana Sunaryati Hartono mengutip pendapat yang dikemukakan oleh Roscoe Pound dalam bukunya yang terkenal: An Introduction to the Philosophy of Law, yang menyatakan: “The first and simplest idea is that law exists in order to keep the peace in a given society, to keep the peace at all events and at any price. This is the conception of what may be called the stage of primitive law. Hukum juga sebagai sarana pembangunan, hukum sebagai sarana penegak keadilan dan hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.


2025 @ Template PN Malinau